Ahad, 24 April 2011

teori maxsisme

Marxisme, Lenin, dan Konflik Kelas

Pusat dari teori Marx adalah konflik kelas. Marx berpendapat, bahwa kapitalisme dan produksi kapitalis secara mendasar disebabkan oleh kepercayaan yang besar pada properti privat dan kompetisi demi keuntungan. Keistimewaan utama dari produksi kapitalis dalam ekonomi industri yang baru muncul adalah pembagian masyarakat antara kapitalis yang memiliki faktor produksi dan pekerja yang hanya memiliki fisik. Menurut teori ini, kapitalis berusaha memaksimalkan keuntungan dari pasar dan pekerja, serta membayar pekerja dengan upah rendah yang tidak sesuai dengan yang dihasilkan. Menurut Marx, keuntungan yang diperoleh dalam ekonomi kapitalis berasal dari surplus value yang dihasilkan dari perbedaan antara banyaknya upah yang dibayarkan pada pekerja dan nilai yang dihasilkan oleh pekerja. Marx beranggapan penyebab konflik utama dalam masyarakat kapitalis tidak hanya cara dan faktor produksi tetapi juga cara dan faktor distribusi dari surplus modal. Marx menolak ide bahwa tujuan pasar mencapai keseimbangan dan menjaga kontradiksi selaras antara kemampuan kapitalis untuk memproduksi barang dengan kemampuan konsumen unutuk membelinya dalam ekonomi kapitalis. Melebarnya kesenjangan antara produksi dan konsumsi menyebabkan fluktuasi ekonomi dan depresi, dan kelangkaan dalam krisis ekonomi semakin intensif yang pada akhirnya mendorong proletar yang tertindas memberontak melawan sistem. Kemudian Marx menyatakan, dalam kapitalisme faktor struktural menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi perjuangan kelas daripada keharmonisan dan kerjasama ekonomi dan politik. Lebih jauh, Klasik Liberal melihat ekonomi dan politik sebagai konsep yang berbeda secara analitik dan terpisah dari cara kerja pasar. Formulasi Marx berhenti pada proposisi bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan, dan bahwa politik tidak sama sekali bebas dari faktor ekonomi yang berkembang di masyarakat. Aspek ekonomi dan politik dalam ekonomi pasar adalah pusat isu distribusi modal berbasis kelas, dan distribusi yang berasal dari pasar secara analitik dan praktek tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimana mereka dijalankan. Konstruk kewenangan politik (negara) mendominasi pengeluaran institusi untuk tujuan pengawasan dan pencabutan sumber daya dari masyarakat. Agama berlaku sebagai racun yang membutakan rakyat dari perbedaan ini. Marx dan kaum sosialis kontemporernya percaya bahwa kapitalisme dan laju internasionalisasi ekonomi pasar kapitalis yang didorong oleh keuntungan dan akumulasi kesejahteraan akan menyebabkan ‘revolusi proletar’ diseluruh dunia yang berakhir pada jatuhnya kapitalisme. Tentu saja, Marx tidak percaya bahwa akan diperlukan pergerakan politik, walau hal itu akan terjadi sesuai dengan hukum ekonomi yang telah ditemukannya. Dalam Manifesto of The Communist Party Marx dan Engels menyatakan bahwa sejarah masyarakat sampai saat ini adalah sejarah perjuangan kelas, semua yang terlibat didalamnya berdiri dalam oposisi yang konstan satu dengan yang lain, tidak terinterupsi, terbuka dan tertutup, perjuangan yang setiap saat berakhir, baik dalam revolusi rekonstitusi masyarakat, atau kejatuhan kelas yang bertentangan. Indikasinya sangat jelas, bagaimanapun peristiwa masa depan akan membuktikan sebaliknya, dan nasionalisme tentu salah satu diantaranya. Disamping isu solidaritas proletar melawan kapitalisme, pada awal abad ke-20, sosialis dan Marxis, Vladimir I Lenin, memperhatikan PD I sebagai perjuangan diantara kapitalis demi wilayah kolonial, sumber daya, dan pasar. Dalam pandangan ini, nasionalisme dan imperialisme membawa sosialis untuk memodifikasi teori Marxis agar sesuai dengan teori ekonomi politik. Hal ini dapat dilihat dalam Imperialism The Highest Stage of Capitalism, Lenin mentransformasikan teori ekonomi politik domestik Marx menjadi teori ekonomi politik internasional. Pada awal abad ini, kapitalisme telah menciptakan teknologi yang lebih maju dan canggih dan lebih berorientasi global. Perluasan produksi konsumen sama baik dengan pedagangan dan transaksi modal diantara kapitalis, dan antara kapitalis dengan negara berkembang melalui kolonisasi dan pembentukan kekaisaran. Hal ini telah merubah ekonomi global yang didominasi oleh industri yang besar dan kuat dan monopoli keuangan dan kepercayaan. Lenin berpendapat bahwa monopoli kapitalisme dan imperialisme dipengaruhi dua kondisi mendasar; munculnya operasi monopolistik dan kompetisi untuk memperoleh bahan mentah diseluruh dunia, yang tidak terhindarkan membawa pada konflik militer internasional dan ‘perjuangan bagi ruang kepentingan ekonomi’. Bentuk imperialisme ini adalah tingkatan tertinggi dari kapitalisme, dimana masyarakat kapitalis akan mengurangi ekonomi domestik dengan jalan ekspansi. Dan imperialisme akan berusaha mengurangi kompetisi di pasar global. PD I menurut Lenin merupakan manifestasi yang paling jelas dari kompetisi diantara kekuatan imperialis. Persaingan ekonomi diantara negara kapitalis tidak dapat diatasi dengan cara damai sehingga perang tidak terhindarkan.
Tidak semua Marxis setuju dengan Lenin. Karl Kautsky menyatakan bahwa kapitalisme tidak secara otomatis membawa konflik, tetapi dapat berkembang melalui fase yang berbeda dimana kekuatan kapitalis menjaga kesejajaran ekonomi dan ideologi mereka untuk waktu yang lama dan mengembangkannya menjadi ultraimperialisme yang lebih luas. Menurut Kautsky. Kerjasama diantara negara kapitalis adalah mungkin dan dominasi kapitalis dalam sistem dunia tidak selalu berakhir pada perang. Kesuksesan Revolusi Bolshevik dan kreasi Uni Soviet muncul untuk melegitimasi teori Lenin tentang imperialisme sebagai teori ekonomi politik internasional Marxis yang bersifat orthodoks.

BAB III

KESIMPULAN


Teori Marxis dalam Hubungan Internasional dan Globalisasi
Dalam kesimpulan ini dapat dijelaskan bahwsannya globalisasi adalah proses di mana transaksi sosial mengenai berbagai jenis hal semakin meningkat tanpa hubungan dengan batas-batas negara. Globalisasi ditandai oleh semakin menyatunya perekonomian nasional, kesadaran global mengenai saling ketergantungan ekologis, membludaknya jumlah perusahaan, gerakan-gerakan sosial, dan para pelaku antarpemerintah yang beroperasi dalam skala global, serta revolusi komunikasi yang membantu perkembangan kesadaran global. Menurut teori Marxis, dunia telah lama didominasi oleh satu perekonomian tunggal dan kesatuan politik, yaitu sistem kapitalis global. Jadi, kaum Marxis tidak menganggap globalisasi sebagai sesuatu yang baru, melainkan sebagai kecenderungan jangka panjang dari perkembangan kapitalisme. Lebih jauh lagi, globalisasi sering dijadikan alat ideologis untuk membenarkan pengurangan hak-hak dan prinsip kesejahteraan para buruh. Menurut Marx dan Engels globalisasi bukan sja mnegasilkan hubungan antar negara akan tetapi adanya dinamika internal dan dominasi kapitaslis dari sistem produksi.
Yang pertama kali menafsirkan pemikiran Marx dalam lingkup internasional adalah Lenin dengan karyanya, Imperialisme, The Highest Stage of Capitalism. Lenin menyebutkan bahwa negara-negara dapat memainkan peran sebagai kelas-kelas. Ia membagi negara-negara ke dalam core yang terdiri dari negara-negara kapitalis (dianalogikan dengan kelas borjuis dalam masyarakat) dan periphery yang terdiri dari negara-negara berkembang (kelas proletar). Lenin berargumen bahwa kapitalisme telah memasuki tahap tertinggi dan terakhir seiring dengan berkembangnya monopoli kapitalisme serta munculnya konsep core dan periphery. Dengan berkembangnya konsep core dan periphery ini, tak ada lagi keselarasan kepentingan (harmony of interests) di antara seluruh pekerja. Jadi, menurut Lenin, pembagian struktural antara core dan periphery menentukan sifat hubungan di antara kaum borjuis dan proletar di setiap negara. Dengan penganalogian ini, aspek internasional mulai masuk ke dalam pemikiran Marxis. Marxisme dalam Hubungan Internasional mengemuka pada tahun 70-an dalam bentuk neo-Marxisme yang didorong oleh pengalaman-pengalaman empiris di Amerika Latin. ECLA menyelidiki keterbelakangan yang terjadi di Amerika Latin dan ketergantungan negara-negara di kawasan tersebut kepada Amerika Utara. Teori yang menjelaskan hal ini kemudian disebut sebagai teori dependencia yang menyatakan bahwa terdapat ketergantungan negara-negara periphery terhadap core. Teori ini berargumen bahwa ekonomi negara-negara Dunia Ketiga dikondisikan dan disubordinasikan terhadap pembangunan ekonomi, ekspansi, dan kontraksi kemajuan ekonomi negara-negara kapitalis. Untuk memperhitungkan argument Marxis dalam pendekatan hubungan internasional direfleksikan pada proses dimana adanya kesatuan perlombaan antar manusia dan penekanan terhadap peranan kapitalisme dan perkembangan ini. Dominananya pemikiran ini di analisis untuk menggantikan tempat alienasi, eksploitasi dan menjauhkan dari sistem kebebasan dan kerjasama universal. Interpretasi Marxis sebagai pengaruh terlegitimasi dengan luas mengatasi adanya resistensi, khususnya dari kaum realis dan neo realis. Kaum realis menyangkal bahwa kapitalis akan menyatukan dunia dalam kebiasan dalam prediksi Marxis dan menolak adanya klaim revolusi proletariat dapat muncul dalam pembagian dunia dalam nation state. Marxis, mengalah pada metode tradisional yaiut diplomasi untuk memelihara bertahan hidup dan keamanan dari nation state menguatkan kembali pandangan realis. Tranformasi dari system internasional Marxis telah mentranformasi dari aksi sebagai agent dari tranformasi system internasional Marxis menjadi instrumen yang direproduksi kembali. Batas perselisihan antara China dan Soviet, Invasi Vietnam ke Kamboja dan perang antar China dan Vietnam adalah bentuk kegagalan Marxis untuk membuat pentingnya system internasional Negara.
Marxis juga dipengaruhi oleh pendekatan yang radikal dari ekonomi politik internasional, termasuk teori ketergantungan, dengan berargumen bahwa analisis interdepedensi terlalu distribusi tidak sejajar untuk kesejahteraan dari kapitalis system dunia. Studi dari ketidak sejajaran inilah yang menjadi saluran untuk izin masuk pendekatan Marxis kedalam studi hubungan internsional.
Selain itu Robert Cox juga berusah menggantikan hubungan internasional yang kovensional teori yang memfokuskan kepada interaksi antara kekuatan kelas, Negara dan tatanan dunia itu adalah ambisi yang di gunakan disiplin ilmu materialisme sejarah. Kehadiran dan perkembangan industrialisasi pada abad ke-19, selain menciptakan lapangan pekerjaan yang besar, juga membawa kesengsaraan bagi masyarakat dimana pabrik-pabrik didirikan. Kesenjangan secara sosial ekonomi terjadi antara mereka yang memiliki kekuasaan modal dan politik dengan mereka yang memiliki keuangan terbatas. Kondisi ini membuat Karl Marx, penteori ekonomi-politik sosialis yang paling berpengaruh pada abad itu, mengkritik keberadaan kapitalisme dan mengembangkan teori ekonomi politik saintifiknya sendiri untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dalam industrialisasi baru di Eropa. Teorinya didasarkan bagi tujuan perjuangan kelas antara proletar (kaum pekerja) dan borjuis (pemilik faktor produksi). Dunia ketiga bukannya tidak menyadari bahwa suatu ketergantungan (Dependensi) telah berlangsung di negara-negara mereka sehubungan dengan proses modernisasi dan industrialisasi. Persoalannya ialah bagaimana cara yang harus ditempuh agar fenomena ketergantungan itu dapat dieleminasi sedemikian rupa. Berkaitan dengan ini, studi berpikir Marxian mengenai model ketergantungan, menentang konsep-konsep dan tata ekonomi yang ditawarkan kapitalisme-liberalisme. Pencarian konsep, teori dan model yang paling cocok secara general untuk pembangunan di Dunia Ketiga sukar dilakukan, dan mungkin tidak pernah dapat ditemukan karena perbedaan-perbedaan visi dan kerangka berpikir di Dunia Ketiga. Secara parochial konsep industrialisasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi geografis banyak dijadikan acuan atau yang direkomendasikan sebagai bahan temuan para pakar Ekonomi Politik baik oleh negara maju maupun negara berkembang, untuk membekali keyakinan para pengambil keputusan di negara-negara berkembang. Karena sifatnya yang lebih ambisius, teori-teori global lebih rentan ketimbang teori-teori dengan penerapan sederhana. Kita berurusan dengan hubungan-hubungan antara wilayah maju dan wilayah terbelakang. Dari seluruh pendekatan yang diuji di atas, Wallerstein dengan World System Theory nya sangat holistik dan luar biasa ekonomistik dalam lingkup penanganannya atas hubungan-hubungan antara politik dan ekonomi. Ia cenderung memperlakukan proses-proses politik domestik ditentukan secara eksternal atau pencerminan kepentingan-kepentingan ekonomi domestik, dan melakukannya secara mekanis dan pukul rata. Namun ia memperkenalkan kembali politik (dan negara-bangsa) sebagai faktor penentu dalam perhitungan penjagaan system pertukaran tak setara yang dianggap juga menghasilkan mereka. Sebagai bahan kesimpulan penutup yang terakhir, bahwasannya dalam perkembangan pemikiran marxis akhirnya melahirkan pemikir-pemikir yang mengembangkan teori-teori dari Marxis, seperti yang telah dijelaskan diatas sepeti, Rober Cox dengan teori critical theorinya, Gramsci dengan Hegemoninya, Immanuel Wallerstain dengan world system theory-nya, dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lain.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan